Wanita gemuk memiliki peningkatan risiko patah tulang pinggul lebih awal daripada yang lain, jauh sebelum usia 70 tahun, sebuah studi baru dari University of Eastern Finland yang diikuti 12.715 wanita selama 25 tahun serta berdasarkan dari studi Osteoporosis Risk Factor and Prevention (OSTPRE) yang dipublikasikan di Osteoporosis International.
Diluncurkan di University of Eastern Finland pada tahun 1989, studi OSTPRE adalah studi kohort berbasis populasi yang merekrut semua wanita yang lahir di Provinsi Kuopio, Finlandia Timur, antara 1932 dan 1941. Dalam 25 tahun penelitian, para peneliti menganalisis indeks massa tubuh (BMI) pada usia 58 tahun dengan risiko awal patah tulang pinggul hingga usia 70 tahun. Mereka juga menganalisis hubungan indeks massa tubuh pada usia 70 dengan risiko patah tulang pinggul di kemudian hari sampai usia 83 tahun. Risiko patah tulang pinggul diperiksa pada kelompok wanita dengan berat badan normal, kelebihan berat badan dan obesitas. Data tentang patah tulang pinggul, mekanisme cedera, dan kematian diperoleh dari daftar kesehatan nasional.
Berat badan normal didefinisikan sebagai BMI 25 atau kurang, kelebihan berat badan sebagai BMI 25-29,9, dan obesitas sebagai BMI 30 atau lebih (kg/m2). Pada awal penelitian, 39,6 persen wanita memiliki berat badan normal, 40 persen kelebihan berat badan, dan 19,9 persen mengalami obesitas. Sebagian kecil wanita (n = 59, 0,5%) memiliki BMI di bawah kisaran normal, yaitu kurang dari 18,5 kg/m2. Penuaan dikaitkan dengan beberapa peningkatan BMI: pada usia 70 tahun, 33,4% wanita memiliki berat badan normal, 40,9% kelebihan berat badan, dan 25,7% obesitas.
Seperti yang disebutkan, risiko patah tulang pinggul meningkat seiring bertambahnya usia di semua kelompok; namun, risiko patah tulang pinggul dini meningkat lebih cepat pada wanita gemuk, dan lebih lambat pada wanita yang kelebihan berat badan, dibandingkan pada wanita lain. Pada wanita gemuk, kemungkinan patah tulang pinggul berada di 1% pada usia 66,7, sedangkan pada wanita yang kelebihan berat badan kemungkinan 1% dicapai 5,1 tahun kemudian, pada usia 71,8. Wanita gemuk memiliki probabilitas 2% untuk patah tulang pinggul 2,1 tahun lebih awal daripada wanita yang kelebihan berat badan, dan 4% kemungkinan 1,3 tahun lebih awal. Perbedaan antara kelompok menjadi lebih kecil dengan bertambahnya usia.
Pada wanita gemuk, kematian terkait patah tulang pinggul dalam lima tahun setelah kejadian itu kira-kira 1,5 kali lebih tinggi daripada yang lain. Setelah sekitar 75 tahun, risiko patah tulang pinggul meningkat paling cepat pada wanita kurus yang BMI-nya berada pada posisi lebih rendah dari berat badan normal. Wanita yang berada di ambang batas antara berat badan normal dan kelebihan berat badan memiliki risiko paling kecil hingga usia tua.
Studi ini juga memasukkan pengukuran kepadatan tulang pinggul dan tindak lanjut terkait sub-sampel 3.136 wanita. Pada awal penelitian, wanita gemuk rata-rata memiliki kepadatan tulang tertinggi, tetapi pengeroposan tulang mereka secara signifikan lebih cepat daripada wanita lainnya. Memang, wanita gemuk di indikasikan memiliki kepadatan tulang terendah pada awal dan memiliki risiko tinggi patah tulang pinggul.
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa obesitas juga bisa menjadi faktor yang melindungi dari patah tulang pinggul. Namun, temuan kontradiktif pada hubungan BMI dengan patah tulang pinggul tampaknya bergantung pada kelompok usia mana yang sedang dipelajari.
Dari hasil penelitian ini kita harus bisa lebih waspada terhadap obesitas, selain memiliki indikasi adanya potensi diabetes juga memiliki risiko patah tulang dini. Jadi, selalu menjaga pola hidup sehat untuk mencegah diabetes dan obesitas agar Anda dapat selalu sehat hingga lansia. Sebagai upaya dalam menjaga kesehatan dari diabetes Anda dapat memulainya dengan mengonsumsi obat herbal diabetes DMPhas yang terbuat dari ekstrak buncis dan pare yang mana kedua jenis sayuran ini terbukti dapat membantu mengontrol kadar gula darah Anda.
Ilustrasi (c) Unsplash.com